OPINI

Guru Masa Depan

Herpratiwi

Dosen FKIP Universitas Lampung

Tulisan ini merupakan hasil perpaduan antara oleh-oleh yang penulis dapat dari hasil pertemuan organisasi profesi Ikatan Pengembang Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) minggu yang lalu dan ketika selama dua bulan terakhir bertemu dengan guru-guru sekolah dasar yang tidak lulus sertifikasi guru melalui jalur portofolio, pada saat mereka mengikuti PLPG. Dan tulisan ini penulis persembahkan khusus kepada "guru" dalam rangka ulang tahun PGRI.

Selama membantu guru memahami materi dikegiatan PLPG, sebagian besar terlihat pasrah, kurang memiliki daya juang dan kalau boleh penulis sebut ogah-ogahan. Kalau dikaji dengan seksama, dengan sikap yang kurang positif, yang mungkin disebabkan oleh rendahnya penghayatan profesi atau memang kemampuan kognitifnya yang rendah, sangat memprihatinkan.

Bagaimana mereka bisa berapresiasi dan terinspirasi untuk mengarah pada kinerja yang tinggi. Karena sampai sekarang sikap merupakan kunci sukses seseorang untuk melakoni suatu profesi. Atau dalam bahasa ilmiah sikap mempunyai hubungan yang positif, erat dan signifikan terhadap profesi. Jika seseorang memiliki sikap positif terhadap profesi yang ia geluti, maka faktor lain baik pengetahuan dan keterampilan akan gampang diraih. Sebaliknya jika seseorang memiliki sifat negatif, akan sulit mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ia inginkan.

Sikap menunggu, menunggu, dan menunggu. Fenomena ini yang sering ditemukan pada diri sebagian besar guru. Menunggu perintah, menunggu petunjuk, dan takut berbuat salah. Jarang di antara mereka yang berani untuk membuat teori, mengemukakan ide kreatifnya, padahal mereka semua memiliki potensi tersebut. Tidak berani mengaplikasikan suatu teori tanpa ada dukungan dan restu dari atasan. Tidak berani mencoba sesuatu yang baru kalau tidak bersama-sama dengan teman. Kondisi ini seharusnya tidak ditemukan pada sosok yang namanya guru. Mengapa? Karena guru adalah manusia yang harus memiliki sikap mandiri dan orang yang tidak pernah berhenti berpikir. Karena guru masa depan adalah guru yang berilmu dan humanis.

Ya, guru harus berilmu, karena setiap hari dituntut untuk selalu mengembangkan apa yang sudah ia kuasai. Guru harus selalu meng-up date®MDBU¯ pengetahuan yang sudah dimiliki dengan berbagai cara, tidak kenal tempat dan dengan siapa pun, melalui berbagai sumber belajar, mengikuti kajian-kajian ilmiah, mengkritisi isu-isu kekinian.

Di abad yang bernapaskan serbateknologi, guru semakin dipermudah untuk mengakses informasi. Jadi tidak ada alasan tidak ada buku di perpustakaan, tidak ada waktu untuk membaca, tidak ada uang untuk membeli buku, untuk berbagi dengan teman sejawat dan lainnya.

Guru yang berilmu akan menjadi guru yang humanis. Karena dengan ilmunya guru akan memberi pelayanan kepada anak secara humanis juga. Guru memandang anak sebagai manusia yang dapat diajak diskusi, berpikir, dan berdialog, Bukan menganggap anak sebagai objek yang sekadar dapat dibentuk menurut kemauan guru.

Humanisasi, itulah yang semua anak didik inginkan pada saat bertemu dengan gurunya di sekolah. Karena dengan humanisasi semua ide, perasaan, pikiran dan kreativitas anak akan mendapat wadah yang pas untuk beraktualisasi.

Tetapi salahkah mereka? Adalah pandangan penulis, bahwa kondisi itu tidak sepenuhnya guru yang salah. Karena mereka adalah produk dari usaha pendidikan yang katanya bertujuan untuk pemberdayaan dan pembudayaan manusia. Kemandiriannya kurang dan malas berpikir karena sudah terkondisi secara sistematis. Malahan banyak pemerhati pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia sudah menjadi pusat "pembodohan yang tersistematisasi".

Pendidikan sudah mematikan kreativitas dan keberanian anak didik. Guru selalu menginginkan anak didiknya dapat menjawab dengan benar dan sesuai dengan kunci terhadap pertanyaan yang ia ajukan. Guru tidak mau direpotkan oleh jawaban yang heterogen dari anak didiknya. Ada ketakutan dari guru, jika terjadi perdebatan di kelas. Padahal inilah yang seharusnya dinanti oleh seorang guru yang "berilmu dan humanis", yang notabene juga harus melahirkan anak-anak yang berilmu dan humanis pula. Guru dikatakan berhasil jika di dalam pembelajaran terjadi perbedaan pendapat terhadap jawaban pertanyaan dan masalah yang diajukan. Anak tidak hanya datang, duduk, dan dengar di kelas. Tetapi anak akan bebas mengeluarkan ide, gagasan dan pendapat dalam suasana yang menyenangkan, seperti suasana yang ia alami sebelum anak berada di sekolah.

Bagaimanapun juga, kemandirian dan tetap terus berpikir agar berilmu dan humanis, merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh pribadi seorang guru, walaupun sistem tidak mendukung. Hendaknya guru mempunyai kemauan untuk membuat rencana tentang apa yang akan didiskusikan dengan anak didiknya, sehingga hari-harinya selalu penuh tantangan dan harapan. Jangan menjiplak rencana pembelajaran teman, harus berani self actualization. Jangan hanya sampai pada physiological needs. Jangan sampai terjadi hari esuk dan yang akan datang sama dengan hari kemarin.

Guru harus berani duduk sejajar dengan profesi lain dengan tetap selalu memikirkan apa yang akan dilakukan hari esuk demi usahanya membudayakan dan memberdayakan anak didik. Harus berani tampil beda, protect terhadap virus malas belajar, virus erosi idealisme, virus rutinitas dan virus kurang percaya diri. Kalau virus ini tidak menyerang, akan muncul perpaduan antara work, leisure, dan learning. Dan akan diikuti oleh nilai-nilai yang lain.... Selamat ulang tahun PGRI.

0 komentar:

Posting Komentar